Puasa sebagai institusi disiplin spiritual moral dan fisik
yang menerawang ke alam ilahiyat, adalah tujuan mulia mencapai tingkatan
spiritual manusia yang paling tinggi. Kesempuranaan perjalanan ruhani puasa di
bulan Ramadhan, adalah lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai
ditekankan dalam hadits:
"Barang siapa yang berpuasa dalam bulan Ramadan dengan
percaya kepada Ku dan mencari keridhaan Ku ...
Kiranya ibadah puasa yang paling intens cenderung
menumbuhkan kesadaran dekat kepada Tuhan dan hadirnya Allah. Dimana mana Allah
senantiasa melihat hamba-hambaNya dalam segala tingkah laku pokal. Inilah yang
menjadi tumpuan disiplin spiritual yang tinggi, kebangkitan jati diri dalam
kehidupan spiritual pula.
Karena tubuh jasmani yang dimiliki otak dinamakan otak
lahir, maka tubuh ruhani pun mempunyai otak batin. Ragawi disebut "badan
kasar" dan tubuh ruhani dinamakan "badan halus". Untuk
mengetahui susunan dan bagian bagian kasar, dibutuhkan acuan pendalaman ilmu
Parasit, Anatomi, Biologi. Dengan perantara ilmu tersebut, akan diketahui
gerak-gerik aku lahir dan aku batin, " sehingga disadari bahwa di dalam
pusat badan halus terdapat bagian yang terpenting yang disebut otak batin atau
Budi sebagaimana sabda Rasulullah SAW
"Dalam tuhuh manusia ada segumpal daging, kalau daging
itu baik niscaya balk pula seluruh tubuh dan kalau ia jelek, maka jelek jua
seluruh tubuh. Segumpal daging itu adalah Kalbu".
Yang dimaksud kalbu dalarn hadis ini adalah jantung lahir
yang terletak di badan "kasar" yang harus dialirkan ke jantung ruhani
badan "budi". Fungsi jantung jasmani memompakan darah keseluruh
tubuh. Sedangkan fungsi jantung ruhani memompakan bion bion ke segenap penjuru
tubuh rohani (badan halus).
Jantung lahir mempunyai otak, menverap obyek ke arah yang
rill coorporil (nyata) berbentuk materi yang logis diraba pancaindera. Jika
otak lahir menerima daya daya memancarkan sinar-sinar abstrak, yang kemudian
diserap otak lahir, sehingga otak lahir akan diliputi daya daya (sinar) dari
otak batin yang tidak selaras dengan getaran getarannya.
Proses penyerapan sinar yang diperoleh otak bathin inilah
yang dinamakan "ilham" atau intuisi yang dibuahkan mereka yang
berbudi dengan bias dan watak yang sempurna. Hal ini sesuai pula yang
disebutkan dalam hadits tentang esensi puasa adalah nilai spiritual dan moral.
"Barangsiapa yang tidak meninggalkan dusta dan
perbuatan yang palsu, Allah tidak memerlukan usahanya meninggalkan makan dan
minumnya."
Agaknya hal ini pula merupakan perintah agama. Semisal orang
yang melakukan shalat dan tidak memperhatikan arti hakiki dan tujuan shalat
itu, maka ia akan terkutuk. Dalam memahami aspek ajaran Islam oleh Prof. Mukti
Ali, juga dikemukakan segi etis dari puasa.
Dalam sebuah hadits dijelaskan sebagai berikut:
"Puasa adalah suatu tameng muka, orang yang berpuasa
hendaknya jangan bicara kotor, atau melakukan pekerjaan yang jelek, atau
apabila ada orang yang menyakiti atau bertengkar dengannya atau pun memakinya,
hendaknya ia berkata: saya sedang berpuasa".
Dalam pandangan Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits
di atas, puasa akan kehilangan nilai, bukan hanya Iantaran orang makan dan
minum, tetapi karena ia dusta, berkata kata kotor, menggunjing, melakukan
perbuatan yang tidak baik dan tingkah laku yang tidak baik yang mengakibatkan
dosa.
Maka jelaslah jikalau jantung Iahir menerima sinar dari
jantung bathin (budi) akan baiklah semua tubuh karena dihiasi kesempurnaan dan
keluhuran akhlak yang mulia. Itu pulalah yang dimaksud dengan Hadits Nabi yang
mengajak manusia agar berbudi luhur dan terpuji, sehingga mampu menerima
intuisi dari Allah Rabbul 'alamin. Sebab manusia yang berbudi mampu menangkap petunjuk
Ilahi.
Intuisi adalah pikiran yang bersih yang diperoleh dari olah
pikir yang ditingkatkan oleh alam Tuhan yang menjadikan manusia yang infra dan
supra intelektual dan berabstraksi.
"Bertafakur hanya dapat dilakukan kalau kondisi lambung
(perut) dalam kondisi kosong, yakni dalam menunaikan ibadah puasa yang sebaik
baiknya tak ubahnya seperti yang disebutkan dalam hadits. Puasa diibaratkan
sebagai pengampunan terhadap dosa.
Orang yang berpuasa beriman kepada Allah dan berusaha untuk
memperoleh keridhaanNya dan mernpunyai maksud yang ikhlas. Rasanya hati ini
benar benar suci, bersih dari dosa, melambung menuju alam malakut atau ke alam
Tuhan.
Kenyataan ini merupakan tanggung jawab terhadap mereka yang
menganggap puasa itu hanya mendidik manusia menahan lapar dan kelemahan
jasmani. Anggapan itu tinlbul dari mereka yang hidupnya hanya mengutamakan
"makan dan minum" saja.
Tentu hal ini akan terasa naif, jika sekali tempo tidak
mendapatkan makanan, lalu untuk mengisi perutnya akan merampas makanan apa saja
tanpa peduli pemiliknya. Bahkan hewan yang lebih kecil dan lemah menjadl mangsa
tanpa belas kasih, yang penting perutnya bisa kenyang.
Justru karena itu, manusia yang punya daya pikir dan
perasaan ini, hendaknya mampu dan menjaga serta memelihara dengan sebaik
baiknya. Agama memberi tuntunan untuk membatasi hawa nafsu agar tidak bersifat
atau bertabiat seperti binatang, sebagaimana Firman Allah SWT:
"Hendaknya kamu makan dan minum dan jangan melebihi
batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai mereka yang melebihi batas" (Al-
?Araf: 31)
Seruan makan dan minum ini tentunya dari miliknya sendiri
yang diperoleh secara halal. Ada suatu ungkapan "Kullu Wasyrabu" yang
bermakna ia mennggunakan bukan miliknya sendiri milik rakyat atau milik negara.
Tingkah laku semacam ini jelas serakah atau sifat "lawwahmah",
egoisentris, bahkan dia nekat melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya
sendiri. Na'udzubillahi min dzalik. Selanjutnya ......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar