ANAK hiperaktif atau ADHD
(Attention Deficit Hyperactivity Disorder), pertama kalinya
dideskripsikan oleh dokter Heinrich Hoffman pada tahun 1863. Angka
kejadiannya cukup membuat cemas orang tua. Hasil riset yang dilakukan
oleh Dwidjo Saputro (2009) di DKI Jakarta menyimpulkan bahwa di antara
lima anak sekolah dasar didapatkan satu anak yang menderita ADHD.
Penyebab
Penyebab
Multifaktor, yaitu: faktor lingkungan dan psikososial, seperti: riwayat
terkena toksin (zat beracun) seperti timah, terpapar rokok, konflik
keluarga, hubungan keluarga yang retak atau tidak harmonis.
Sosial ekonomi keluarga yang tidak memadai, jumlah keluarga yang terlalu
besar, orang tua terkena kasus kriminal, orang tua dengan gangguan jiwa
(psikopat), cara mengasuh-mendidik yang kasar, anak yang diasuh di
penitipan anak, rasa kehilangan yang sangat, misal: karena orang tua
bercerai atau meninggal dunia, di awal masa anak-anak juga menjadi
penyebab.
Faktor makanan: kekurangan asam lemak omega-3; konsumsi makanan dengan
zat/bahan pengawet dan pemanis, seperti: natrium benzoat, gula. Faktor
biologis dan genetik, seperti: riwayat keracunan kehamilan, perdarahan
antepartum (sebelum melahirkan), fetal distress, cedera saat lahir. Ibu
hamil yang terpapar rokok, merokok, atau mengkonsumsi alkohol, heroin.
Janin kekurangan oksigen, dan kekurangan asupan seng. Riwayat bayi
dengan berat lahir sangat rendah atau prematur, cedera otak. Ada
peningkatan kadar monoamine oksidase (MAO) pada trombosit anak dengan
gangguan pemusatan perhatian-hiperaktivitas.
Gangguan neurotransmitter, seperti: gangguan sistem central
catecholaminergic neurotransmission, perubahan catecholaminergic
terutama dopaminergic dan noradrenergic, penurunan homovalinic acid
(HVA) cairan serebrospinal, ketidaknormalan fungsi norepinefrin. Anak
dengan dopamine transporter (DAT) susceptibility gene rentan menderita
ADHD.
Gambaran Klinis
Gejala ADHD merupakan rangkaian kesatuan, yang dapat menetap (setidaknya
selama 6 bulan) sepanjang masa anak hingga dewasa, meliputi: gangguan
pemusatan perhatian, seperti: terlihat sering bengong atau melamun.
Jarang menyelesaikan perintah sampai tuntas, tak dapat berkonsentrasi
dalam waktu lama, kalau belajar harus selalu ditunggu, belum dapat
menyelesaikan tugas sendiri, pikirannya kacau, mudah bingung, pelupa,
perhatian mudah beralih, barang-barang miliknya (seperti mainan) sering
hilang, tertinggal atau terlupakan.
Hiperaktivitas, yaitu aktivitas motorik dan vokal yang sangat
berlebihan, seperti: banyak bicara (misal: ngobrol dengan teman di dalam
kelas, sering nyeletuk), tidak dapat tenang/diam (misal: tidak dapat
duduk diam, sering berjalan-jalan di dalam kelas), tidak mengenal lelah,
tangan dan kaki selalu bergerak, sulit dikendalikan saat di mall atau
sedang berbelanja, kadang tampak gelisah, ribut, atau gaduh.
Perilaku impulsif, yaitu perilakunya kurang terkendali, seperti:
berbicara dan bertindak tanpa berpikir akibatnya, suka menginterupsi
atau menyela orang lain, sering menjawab terburu-buru sebelum pertanyaan
usai ditanyakan, sering usil, tidak sabaran, sering mengambil “jalan
pintas” dalam menyelesaikan tugas.
Dapat juga disertai dengan: sikap menentang, seperti: sering melanggar
peraturan. Lebih mudah merasa terganggu, mudah tersinggung, mudah marah
dibandingkan dengan teman yang seusia. Cemas, misalnya: lebih banyak
mengalami rasa khawatir dan takut dibanding teman yang seusia.
Sangat sensitif terhadap kritikan, mengalami kecemasan pada situasi yang
baru atau yang tidak dikenal, terlihat sangat pemalu dan menarik diri.
Memiliki problem sosial, seperti: hanya memiliki sedikit teman, sering
merasa rendah diri dan tidak percaya diri, kemampuan sosialisasi buruk.
Pemeriksaan Penunjang
Penderita tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. Untuk deteksi dini
di Indonesia, digunakan instrumen Skala Penilaian Perilaku Anak
Hiperaktif (SPPAHI) untuk deteksi ADHD pada anak berusia 6-13 tahun,
yang dapat dipakai oleh orang tua, guru, dokter.
Jika fasilitas tersedia, sebelum dan sesudah pemberian terapi, dapat
dilakukan pemeriksaan cognitive Event Related Potential (ERP), Matching
Familiar Test, dan Continuous Performance Test untuk menilai kemampuan
memusatkan perhatian dan tingkat kewaspadaan.
Terapi
Untuk semua penderita ADHD, ditekankan pentingnya diet-nutrisi seimbang,
yakni: 4 sehat 5 sempurna, berolahraga dan beribadah secara rutin dan
teratur. Diet yang direkomendasikan adalah diet oligoantigenic, yaitu
menghindari (bahan) makanan yang berpotensi menyebabkan alergi, seperti:
susu dan produk-produknya, tepung terigu, gandum, jagung, ragi, dan
kedelai. Hindari juga susu sapi, telur, jeruk.
Secara umum, methylphenidate, atomoxetine, dan dexamfetamine dapat
digunakan untuk anak dan remaja penderita ADHD atas indikasi.
Atomoxetine dapat digunakan jika methylphenidate tidak manjur, dan
sebaiknya dikombinasikan dengan inhibitor CYP2D6, seperti: fluoxetine.
Obat stimulan, seperti pemoline, dapat juga digunakan pada anak, remaja,
dan orang dewasa penderita ADHD yang tidak berespon terhadap
methylphenidate.
Dexamfetamine dapat dipertimbangkan jika anak dan orang muda dengan ADHD
tidak berespon terhadap dosis maksimum dari methylphenidate atau
atomoxetine.
Untuk orang dewasa penderita ADHD, sebaiknya diberikan terapi yang
komprehensif, meliputi: obat yang disertai juga dengan terapi
psikologis, terapi perilaku, dan okupasi. Obat tidak direkomendasikan
untuk anak ADHD yang belum bersekolah, sehingga terapi pada anak yang
belum bersekolah sebaiknya diberikan oleh dokter, terutama psikiater
anak dan spesialis anak. Beberapa obat herbal, seperti: Ginkgo biloba,
Passiflora, sedang diteliti kemanjurannya untuk mengobati ADHD.
Pencegahan
Berbagai upaya untuk mencegah ADHD antara lain: kedua orang tua jangan
merokok. Untuk ibu hamil, hindari: rokok, konsumsi makanan/minuman
beralkohol, narkoba, heroin. Ibu hamil hendaknya teratur kontrol, rajin
berolahraga dan rutin beribadah, menjaga asupan gizi seimbang, terutama
vitamin D.
Menjaga bayi dan anak dari semua makanan-minuman yang mengandung zat
tartrazine, bahan pengawet (seperti: sodium benzoate), pemanis (seperti:
gula), dan pewarna buatan. Jauhi TV, terutama jika Anda memiliki anak
yang berusia kurang dari dua tahun. Untuk semua anak dan remaja,
sebaiknya tidak menonton TV lebih dari 3 jam per hari, efektifkan waktu
untuk belajar, berdiskusi, menambah pengalaman positif, membaca,
menulis, dan beribadah dalam arti luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar